Yang tidak pernah memarahaiku,

Kepada yang pernah kusebut sebagai kekasih,

Pernah kita menyebutkan gosip-gosip indah tentang Tuhan kita yang berbeda, tentang ibu-ibu kita yang pernah meninggalkan suaminya. Di antara malam yang tak terhitung itu, seringkali kita habiskan bersama ditemani kopi, mie panjang pedas khas sebuah daerah. Kita pernah menyebutnya sebagai makan malam, saat itu kita hanya sebagai teman. Hingga sekarang, kita menyebut diri kita sebagai teman yang tak ternamai.

Kita pernah saling menerima satu sama lain, tanpa pernah kita saling mencela juga tanpa memarahai. Di tahun kemarin, aku menemanimu berbaring di tempat tidurmu, aku menenggelamkan diriku dalam tangismu. Memelukmu di masa itu adalah bahagiaku, aku pernah ada untukmu meski selanjutnya kita pernah saling melupa.

Di akhir tahun, aku sendiri berjuang pada yang disebut sebagai kita. Aku menjadi sangat sepi, kau menyuruhku selalu menghindarimu. Katamu, kau tak mau merepotkanku lagi.

Hingga di tahun ini, ada yang telah hilang. Aku bertemu orang lain. Dan meninggalkanmu pergi tanpa pesan setelah dua malam kita habiskan bersama dengan cerita dan kedekatan tanpa jarak. Aku berpamitan dengan pelukanmu, kau tak tahu aku sudah pergi hingga hari ini.

Di manakah dirimu? Sudah tak ada lagi sebagian ranjangmu untukku, sudah tak ada lagi gelas anggur untukku. Aku tak menyimpan dirimu dalam benda. Kita belum melupa, benci yang pernah kita simpan tak kan pernah bisa disampaikan.

*berhati-hatilah pada yang kau sedihkan ketika senja datang, kau tak pernah tahu bagaimana malam akan rusak karenanya. Sedang esok kau akan bertemu senja lagi.

Trowulan,
7Juli 2014
Dewi Nuriyah

Tinggalkan komentar